Yusuf Estes, Musisi dan Pendeta yang
Memeluk Islam
Dikutip
dari kisahmuallaf.com pada tanggal Juli
5, 2012 – Tak sedikit yang bertanya-tanya soal keputusan pendeta Yusuf
Estes memeluk Islam. Apalagi di tengah pembicaraan negatif tentang Islam dan
muslim.
“Banyak
orang ingin tahu, bahkan mempertanyakan secara detail mengapa saya memeluk
Islam,” ujar Estes.
Estes
lahir dari keluarga Kristen yang taat
di Midwest, Amerika Serikat. Keluarganya secara turun-temurun membangun gereja dan
sekolah di AS.
Ia
menempuh pendidikan dasar di Houston, Texas. Semasa kecil, ia selalu menghadiri
gereja secara teratur. Ia dibaptis pada usia 12 tahun di Pasadena, Texas.
Keingintahuannya
yang besar terkait ajaran Kristen membuatnya ingin mengunjungi gereja-gereja
lain. Ia datangi gereja Metodis, Episkopal. Nazareth, Agape, Presbyterian dan lainnya.
Tak
hanya itu, Estes juga mempelajari agama lain seperti Hindu, Yahudi, dan Buddha. “Saya tidak menaruh perhatian serius pada
Islam. Inilah yang banyak ditanyakan oleh teman-temanku,” kenang dia.
Tak
hanya tertarik dengan agama, Estes juga menaruh perhatian pada musik, utamanya
musik klasik. Kebetulan, keluarganya gemar menikmati musik. Ia bahkan menjadi pengajar Keyboard
pada tahun 1960 dan tiga tahun kemudian memiliki studio sendiri di Laurel,
Maryland.
Seiring
berlalunya waktu, bisnis yang digeluti Estes terus berkembang. Bersama ayahnya,
ia membuat program hiburan dan atraksi. Ia juga membuka toko piano dan organ
sepanjang jalan dari Texas, Oklahoma dan Florida.
Dari
bisnis itu, Estes memperoleh pendapatan hingga jutaan dolar AS. Tapi ada satu
hal yang mengganjal. Pikirannya tidak merasa tenang. “Mengapa Tuhan
menciptakan aku? Apa yang Tuhan inginkan?. Tapi di agamaku terdahulu, siapa
pun harus percaya tanpa perlu bertanya,” tuturnya.
Satu
hal yang membuat Estes merasa aneh adalah tidak terdapat kata “trinitas” dalam
Injil. Masalah itu, kata dia, telah menjadi perhatian selama dua abad. Ia
pernah mempertanyakan masalah ini kepada para pendeta.
Nyatanya,
tidak ada jawaban yang logis. Sebaliknya, terlalu banyak analogi dan pendapat
yang aneh. Untuk sementara pikiran itu teralihkan oleh kesibukannya dalam
mengurusi bisnis.
Bisnis
Estes terus berkembang, kali ini ia memproduksi lagu-lagu pujian dan
mendistribusikannya secara gratis kepada pensiunan, rumah sakit dan panti
jompo. “Memberikan siraman rohani kepada orang lain membuatku lupa dengan
keraguan yang kualami,” ungkapnya.
Diawal 1991, bisnis Estes mulai merambah keluar negeri.
Negara pertama yang ia kunjungi adalah Mesir.
Di
negeri Piramida, Estes bertemu dengan seorang pria Muslim. Satu hal yang ada di
pikiran Estes tentang Muslim, “teroris”. Estes tidak percaya ia harus
berhubungan dengan sosok yang begitu ia benci.
“Mereka
tidak percaya kepada Tuhan. Mereka adalah penyembah kotak hitam di padang pasir.
Mereka cium tanah lima kali sehari. Sial, saya tidak ingin bertemu dengan
mereka,” kata Estes menirukan ucapannya
dahulu saat tiba pertama kali di Mesir.
Sikap
Estes akhirnya luluh, ketika ayahnya menjelaskan sosok yang bakal ditemui.
Ayahnya mengatakan calon klien yang akan ditemui memiliki kepribadian yang
baik. Tapi alasan yang paling diterima Estes adalah rencana ayahnya untuk
mengkristenkan setiap Muslim. “Itulah alasan kuat yang akhirnya membuat saya
mau bertemu dengan pria Muslim itu,” ucapnya.
Akhirnya,
Estes dan ayahnya bertemu dengan pria Muslim itu setelah kebaktian. Dengan
sikap jumawa, Estes memegang erat Injil di tangannya. Ia bawa salib dengan
tampilan mengilap. Detik-detik bertemu dengan kliennya itu, Estes terkejut.
“Orang
ini sangat hangat. Mereka ramah sekali,”
kenang Estes ketika bertemu pertama kali dengan pria tersebut. Penampilan pria
ini seperti kebanyakan masyarakat Arab. Mereka kenakan jubah panjang,
bersorban, dan berjanggut. Bedanya, pria ini tidak memiliki rambut.
Berikut
dialog Estes dan Pria itu:
Estes:
Apakah anda percaya pada Tuhan?
Pria
Muslim: Ya
Estes:
Apakah anda percaya Adam dan Hawa?
Pria Muslim: Ya
Pria Muslim: Ya
Estes:
Bagaimana dengan Ibrahim, anda percaya kepadanya dan bagaimana ia mencoba
mengorbankan putranya untuk Allah?
Pria
Muslim: Ya
Estes:
Bagaimana dengan Musa? Sepuluh perintah Tuhan? Membelah Laut Merah?
Pria
Muslim: Ya
Estes:
Bagaimana dengan nabi lain; Daud, Sulaiman dan Yunus?
Pria Muslim: Ya
Pria Muslim: Ya
Estes:
Apakah anda percaya dalam Alkitab?
Pria Muslim: Ya
Pria Muslim: Ya
Estes:
Apakah anda percaya pada Yesus? Bahwa ia adalah Mesiah (utusan) Allah?
Pria
Muslim: Ya.
“Aku
merasa lebih mudah. Ia (Muslim) siap dibaptis, hanya saja ia tidak tahu apa
yang akan saya lakukan,” kata
Estes.
Perbincangan itu sempat membuat Estes terkejut. Ternyata seorang Muslim percaya pada Injil. Tapi dirinya baru tahu kalau keimanan Muslim terhadap Yesus hanya sebatas utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, lahir tanpa ayah, tengah berada di langit bersama pencipta-Nya dan akan turun ketika akhir zaman tiba.
Perbincangan itu sempat membuat Estes terkejut. Ternyata seorang Muslim percaya pada Injil. Tapi dirinya baru tahu kalau keimanan Muslim terhadap Yesus hanya sebatas utusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, lahir tanpa ayah, tengah berada di langit bersama pencipta-Nya dan akan turun ketika akhir zaman tiba.
Estes tak berhenti bertanya kepada pria Muslim itu. Ia
bertanya banyak hal. Dalam pikiran Estes, ada kepercayaan diri tinggi bahwa
pria Muslim itu bakal menjadi penganut Kristen yang taat.
Lalu
bisnisnya bakal berkembang lebih dari yang dibayangkan. “Saya minta kepada
ayah untuk segera mempercepat bisnis dengan pria Muslim ini,” kata dia.
Sebelum
tercapai kata sepakat, Estes mulai menjalani tugasnya sebagai misionaris. Ia
temui orang miskin, lalu berbicara dengan tentang konsep ketuhanan dalam
Kristen. Ia juga mengunjungi sesama pendeta dan penginjil di seluruh negara
bagian Texas.
Suatu
hari, ada salah seorang temannya yang mengalami serangan jantung, dan harus
pergi ke Rumah Sakit Veteran. Estes mengunjunginya beberapa kali dalam sepekan.
Ketika bertemu dengan kerabatnya itu, ia bertemu dengan salah seorang pasien
lain yang tengah duduk dengan kursi roda.
Estes
melihat pria itu begitu kesepian dan depresi. “Saya temani dia sembari
mengisahkan cerita Yunus. Intinya, saya coba memberitahunya bahwa kita tidak
bisa lari dari masalah karena kita sebenarnya tahu apa yang harus dikerjakan.
Yang lebih penting lagi, Tuhan tahu apa yang dilakukan umatnya,” ujarnya.
Setelah
berbagi cerita, pria itu lalu mendongak ke langit, lalu meminta maaf. Pria itu
mengatakan kepada Estes soal penyesalan dirinya atas perbuatannya selama ini.
Pria itu kemudian mengadu kepada Estes. “Ia berkata padaku, ia seorang imam Katolik. Saya sangat terkejut, apa yang terjadi di dunia ini?” kata Estes heran.
Mendengar
kisah pastor itu, Estes mengajaknya tinggal bersama. Dalam perjalanan
pulang, Estes dan pastor itu berbicara panjang lebar tentang kepercayaan dalam
Islam.
Yang
mengejutkan, pastor itu mengakui kebenaran Islam. “Ia tengah mempelajari
Islam. Saya sempat terkejut. Inilah masa di mana saya akhirnya mulai menerima
Islam,” kenang Estes.
Setibanya
di rumah, Estes kembali melanjutkan diskusi bersama pastor itu. Ia bawa Injil
James dan Injil lainnya. Ia habiskan waktu sepanjang hari untuk berbicara
tentang kebenaran dalam Injil.
Pada
satu titik, Estes bertanya pada pastor itu tentang Al-Quran berikut versi
barunya. “Dia mengatakan pada saya, hanya ada satu Al-Quran. Tidak ada yang
berubah dengan Alquran!” tutur Estes.
Melihat
Estes penasaran, pastor itu menjelaskan bahwa ratusan bahkan jutaan Muslim yang
tersebar di muka bumi, telah menghafal Al-Quran. Yang membuat Estes bingung,
bagaimana bisa Al-Quran bisa bertahan sekian abad, sementara kitab sucinya
sendiri telah berubah selama ratusan tahun. Bahkan tidak diketahui naskah
aslinya. “Jadi, bagaimana bisa Al-Quran tidak berubah?” tanya Estes
heran.
Pada
suatu hari, sang pastor meminta Estes untuk mengantarkannya ke masjid. Di sana,
Estes baru mengetahui bahwa mereka (Muslim) hanya datang untuk shalat dan pergi
kemudian. Ia merasa aneh melihat mereka, yang tak bernyanyi atau
menyenandungkan pujian.
Beberapa
hari kemudian, pastor itu meminta Estes untuk kembali mengantarkannya ke
masjid. Namun, Estes meminta pesuruhnya untuk mengantikan dirinya. Cukup lama
pastor itu mengunjungi masjid, hingga memunculkan kekhawatiran Estes.
Tiba-tiba,
Estes dikejutkan dengan sosok menggunakan jubah putih dan peci. “Hei, siapa
anda? Apakah anda, apakah anda telah menjadi Muslim?” Estes kaget bukan
kepalang.
Belum
selesai dengan rasa terkejutnya dengan keputusan pastor itu memeluk Islam,
giliran istrinya yang menyatakan niatnya untuk memeluk Islam. “Saya sangat
terkejut. Saya tidak bisa tidur,” kata Estes.
Jelang
Subuh, Estes tak lagi mampu menutupi keinginannya untuk memeluk Islam. Ia
keluar rumah, lalu menemukan sepotong kayu, ia berdirikan kayu tepat di arah
kiblat umat Islam. Dalam hati Estes bertanya, “Ya Tuhan, jika Kau ada di
sana, bimbing aku, bimbing aku.”
Beberapa
saat kemudian, Estes melihat sesuatu. Ia tidak melihat malaikat atau mendengar
sesayup suara. Ia melihat dirinya sudah berubah. Ia melihat dirinya sudah
seharusnya menghentikan perbuatan bodoh dan melakukan sesuatu yang licik.
Selanjutnya,
Estes membersihkan dirinya. Sekitar pukul 11.00 pagi, ia berdiri di depan dua
saksi, salah satunya si mantan pastor—yang dikenal sebagai Bapa Peter Jacob—dan
lainnya Abdel Rahman. Estes lalu mengucapkan dua kalimat syahadat.
“Aku
bersaksi, tidak ada tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad
adalah utusan Allah,” ucap Estes mantap. Selanjutnya, giliran sang istri
mengucapkan dua kalimat syahadat. Beberapa bulan kemudian, giliran ayah Estes
mengucapkan dua kalimat syahadat.
Tak
lama setelah ayahnya, giliran ibunya mengakui bahwa Yesus bukanlah anak Tuhan.
Ia adalah nabi. “Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerima keimanannya,”
kata Estes.
Estes
begitu cepat beradaptasi dengan status barunya. Seluruh kegiatan bisnis yang ia
lakukan dimodifikasi dengan menjadi medium untuk menyebarkan syiar Islam. Ia
juga membangun sekolah-sekolah guna mendidik para Muslim mendalami Al-Quran.
“Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala membimbing kita menuju kebenaran.
Aamiin,” pungkasnya.
No comments:
Post a Comment