kisahmuallaf.com – Dianne Charles Breslin dibesarkan dalam
keluarga Katolik yang taat. Ayahnya seorang misionaris. Bahkan, dua orang
bibinya biarawati.
Dianne sendiri menghabiskan
pendidikannya di sekolah gereja. “Aku dikelilingi doktrinasi soal trinitas.
Sepanjang hari, aku melihat salib, para suster, patung Yesus dan Bunda Maria,”
tuturnya kepada Islam Religion.
Hingga memejamkan mata, Dianne tiada
henti memikirkan konsep trinitas. Konsep yang menjadi titik awal keraguannya
dalam mendalami ajaran Kristen. “Yang ada dalam pikiranku, kadang aku tidak berdoa untuk
Tuhan yang sebenarnya. Aku berdoa kepada sosok yang mungkin tidak memiliki
kekuatan untuk membantuku,” kata dia.
Dianne merasa ragu, setiap kali
berdoa dan menyebut nama Bapa, anak dan roh kudus, ia tidak dapat meyakinkan
diri apakah doa itu sampai kepada yang Mahakuasa. Ia tidak tahu di mana Tuhan
sebenarnya. Ia hanya mengucapkan apa yang diajarkan padanya sedari kecil.
Di ulang tahunnya yang ke-12, sang
bunda memberikan Dianne sebuah Alkitab. Sebagai penganut Katolik, ia tidak
diperkenankan untuk membaca apa pun selain Katekimus Baltimore.
Namun, Dianne tak mematuhi keharusan
tersebut. Ia membaca buku lainnya dengan harapan dapat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang masih mengganjal hatinya. “Aku tahu betul, buku yang wajib dibaca itu
sangat berbelit dan sulit dipahami,” ujarnya.
Memasuki usia 20 tahun, Dianne mulai
membaca literatur agama lain seperti Hindu dan Buddha. Namun, ia merasa tidak tertarik dengan
ajaran-ajarannya. Menurut Dianne, kedua agama itu terlalu eksotis dan tidak
memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaannya. “Dalam hal ini, aku coba
maksimalkan naluriku untuk mencari kebenaran,” tuturnya.
Lulus kuliah, Dianne melanjutkan
studinya ke jenjang S2. Saat itulah, ia pertama kali mendengar tentang
Al-Quran.
Seperti kebanyakan warga AS, Dianne
tahu Al-Quran itu identik dengan imigran Arab. Dalam bayangannya, imigran Arab
itu tak lebih dari sosok misterius yang berusaha merusak peradaban Barat.
“Secara spesifik, aku tidak pernah
mendengar tentang Islam. Aku gambarkan imigran Arab itu bermuka masam, memiliki
unta dan menetap di padang pasir,” tuturnya.
Studi yang ia tempuh mengharuskan
Dianne untuk mempelajari agama lain. Ketika itulah, muncul kembali pertanyaan
dalam dirinya. Ia bingung, mengapa Yesus dari Nazareth memiliki mata biru.
Ia coba simpulkan sendiri dengan
pengetahuan yang didapat. Hasilnya, Dianne merasa ada sesuatu yang luput.
“Melihat sejarah perang Arab-Israel tahun 1967, aku merasa bersimpati dengan
bangsa Arab. Walau aku tak tahu alasannya. Ketika memeluk Islam, aku baru
sadar, bahwa mereka (Arab) saudara seimanku,” kata dia.
Di usia 35 tahun, Dianne mulai
bersinggungan dengan Al-Quran. Itu pun hanya untuk keperluan tugas kuliah. Ia
buka Al-Quran, dan membaca Surah Al-Mu’minun ayat 52-54:
“Sesungguhnya (agama tauhid) ini,
adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka
bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan
agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka
dalam kesesatannya sampai suatu waktu.”
Menurut Dianne, ayat yang ia baca
ini mengandung kebenaran yang jelas dan kuat. “Sungguh menyedihkan, ketika
manusia menolak kebenaran dan terlibat dalam persaingan yang sia-sia. Di sini
aku melihat bangsa, kebangsaan, budaya dan bahasa yang beragama itu pada
dasarnya hanya menyembah satu Tuhan, pemilik semesta raya,” kata dia.
Kekagumannya pada ayat Al-Quran
belum cukup membuat dirinya meninggalkan agama Kristen. Namun, dalam diri
Dianne masih terdapat pergulatan batin yang begitu dahsyat. Ia merasa, Bunda
Maria, nama yang ia sering sebut saat berdoa, merupakan sosok yang malang.
Perempuan itu difitnah lantaran penafsiran keliru.
“Ibuku selalu mengatakan agar aku
berdoa kepadanya. Tapi aku paham, orang tuaku sepertinya tidak sadar kalau
sebenarnya Maria diberikan kekuatan oleh Tuhan untuk menanggung fitnah itu.
Tuhanlah yang menciptakan Maria, maka kepada Tuhanlah seharusnya seseorang
memohon pertolongan,” kata dia.
Dianne mengatakan Yesus, atau Isa
dalam bahasa Arab tidak pernah sekalipun mengaku sebagai anak Tuhan.
Sebaliknya, ia berulang kali menyebutnya sebagai pembawa pesan. Lagi-lagi,
Dianne kembali bingung.
Menurut logika Dianne, pernyataan
itu sudah cukup untuk memastikan bahwa Yesus adalah Nabi. “Ia datang atas
perintah Tuhannya. Posisinya serupa dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam, ia ajak untuk kembali pada-Nya, tempat di mana setiap manusia
akan kembali,” kata dia.
“Tidak ada masalah dengan perbedaan
fisik di antara mereka. Entah Arab, Yahudi, Kaukasus, bermata biru atau coklat, rambut panjang atau
pendek. Semua perbedaan itu jelas tidak relevan atas kehadiran mereka sebagai
pembawa pesan Tuhan,” paparnya.
Setiap kali memikirkan Yesus—dan
setelah ia mengetahui tentang Islam—Dianne merasa ada benang merah yang kuat
bahwa Yesus adalah seorang Muslim, seorang hamba yang tunduk kepada Tuhan yang
Mahakuasa. “Dalam sepuluh perintah Tuhan disebutkan, Akulah Tuhan, Allahmu,
jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku.”
Sementara, lanjut Dianne, dalam
Alquran disebutkan dalam Surah Maryam ayat 88-90, “Dan mereka berkata,
‘Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak’. Sesungguhnya kamu telah
mendatangkan sesuatu perkara yang sangat munkar, hampir-hampir langit pecah
karena ucapan itu, dan bumi terbelah-belah, dan gunung-gunung runtuh.”
Menurut Dianne, jika setiap orang
mengetahui makna La Ilaha Illallah (tiada tuhan selain Allah) maka dapat
diketahui persamaan dalam kedua ayat dari kitab tersebut. Namun, distorsi
penafsiran membuatnya berbeda. “Sudah sewajarnya distorsi ini diakhiri,” kata
dia
Butuh tiga tahun bagi Dianne untuk
mendalami Al-Quran sebelum dirinya untuk menyatakan diri menjadi Muslim. Tentu,
ia merasa khawatir dengan perubahan yang akan dialaminya, seperti tidak
diperbolehkannya seks bebas dan konsumsi minuman keras. “Musik dan dansa bagian
dari hidupku. Bikini dan pakaian serba minim merupakan favoritku,” kenang
Dianne.
Lantaran merasa ragu, Dianne mencoba
untuk menyambangi Islamic Center, yang jaraknya satu jam dari tempat ia
tinggal.
Setibanya di masjid—saat itu tengah
berlangsung pelaksanaan shalat Jum’at—tidak ada yang bersedia untuk menemui
Dianne. Itu karena, Dianne dianggap sebagai mata-mata.
Di tengah fase akhir, Dianne
mengalami cobaan. Ayahnya meninggal karena kanker. Ia berada di sisi ayahnya
hingga malaikat mau mencabut nyawa. Ia menangis dan takut. Momentum itu membuat
Dianne tak sabar untuk memeluk Islam.
Ia pergi ke Mesir setelah kematian
ayahnya. Di Negeri Fir’aun itu ia menemukan kebenaran yang ia cari; Tuhan yang
satu, kekal abadi, yang tidak pernah dilahirkan ataupun memiliki anak.
“Dalam Al-Quran disebutkan,
orang-orang yang terbaik adalah orang-orang yang shaleh. Sebelum anda menjadi
shaleh, anda harus mencari siapa Tuhan itu,” kata Dianne yang segera belajar
bahasa Arab guna mempermudah dirinya mengkaji Al-Quran.
Dianne mengaku semenjak ia
mempelajari Al-Quran, ia tidak lagi ingin mengejar kemewahan dunia. Hobi
belanja yang biasa ia lakukan mulai dikurangi. Ia pun ikhlas bila teman dan
keluarga meninggalkannya karena statusnya sebagai Muslim. “Jika Tuhan memilih
untuk membawa mereka pada Islam, maka jadilah. Tapi aku tahu, bahwa Tuhan
memberi apa yang dibutuhkan, tidak kurang dan lebih.”
Kini, ia telah menjadi Muslim.
Namun, ia tidak egois. Ia tak ingin menikmati sendiri hidayah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala yang diberikan padanya. Ia mengharapkan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala juga memberikan hidayah serupa kepada masyarakat Amerika Serikat.
Dianne mengatakan masyarakat Amerika
Serikat sudah terlalu stres dengan situasi duniawi. Sudah saatnya mereka untuk
menuju kebenaran hakiki, kebenaran yang selama ini dihina, ditolak dan
diacuhkan.
“Aku peduli dengan masa depan
Amerika Serikat. Aku berdoa kepada Allah Yang Mahakuasa untuk memberikan
kesempatan kepada setiap warga Amerika Serikat untuk menerima pesan dari
keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan cara sederhana,” pungkasnya.
No comments:
Post a Comment